Rabu, 28 Juni 2017

Cerpen remaja tentang "My Last"


DEANDELION

(Cindika Nur Hayati)
            “pagi Deani Ananda.. kesayangannya Leon.”
            Gadis yang disapa Dean itu menghembuskan nafasnya kasar mendengar sapaan kekasihnya, Leon. Tanpa membalas, Dean segera naik ke motor Leon setelah mengenakan helm.
            “siap cantik?”
            “hm.”
            Leon segera melajukan motornya membelah jalan raya menuju SMA Bakti. Sepanjang perjalanan, hanya Leon yang membuka suara sedangkan Dean hanya membalas dengan gumaman.
            Ketika motor Leon memasuki area parkiran sekolah, Dean segera turun dari motor. Ia berbalik menuju kelasnya tapi terhenti karna Leon menarik lengan gadis itu.
            “kenapa sih Leon?!”
            Tangan Leon terulur merapikan rambut Dean dan menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “buru-buru banget sih? Gue kan masih mau ngomong.” Leon tersenyum tulus.
            “belajar yang bener ya.. jangan lupa makan, sama satu lagi gue mau kasih sesuatu.” Leon mengambil sebuah bunga dandelion disakunya, lalu menyerahkannya dihadapan Dean.
            “tiup.”
            Dean berdecak kesal menepis bunga itu. “apaan sih Leon?! Gue tuh buru-buru! Lagian apaan sih suruh tiup-tiup?! Ini tuh rumput liar! Gak penting!” Dean langsung meninggalkan Leon.
            Leon terdiam memandangi bunga dandelion yang ditepis oleh Dean, padahal bunga itu berarti bagi dirinya. Pemuda itu menghembuskan nafasnya kasar lalu mengambil dandelion itu dan meniupnya hingga kelopak bunga itu berterbangan diterpa angin.
----
            Suasana kantin yang tadinya berisik dengan suara-suara murid yang berebut mengisi perut mereka, kini semakin riuh karna teriakan seorang cowok yang baru sampai dikantin.
            “Deaaannn.. Leon dataanngg..”
            Semua murid hanya terkekeh, mereka tahu bahwa Leon adalah cowok ganteng yang kelewat ceria. Sementara Dean hanya mendengus kesal melihat Leon mendekat kearahnya sambil tersenyum konyol.
            Leon duduk didepan Dean dengan senyum konyolnya membuat Dean memutar bola matanya malas. “kenapa sih Leon?! Lo itu seneng banget bikin gue malu!! Please.. sekali aja jangan bikin gue malu!!”
            Bukannya marah atau tersinggung, Leon malah mengusap rambut panjang Dean sambil menatapnya lembut. “kenapa sih marah-marah mulu? Nanti capek loh..” kata Leon lembut.
            Jika gadis lain, mungkin akan tersipu mendengar ucapan dan perlakuan lembut dari Leon. Tapi lain dengan Dean, ia memutar bola matanya malas sambil menepis tangan Leon dari rambutnya.
            “apaan sih lo?! Gak usah sok manis! Alay!”
            Leon masih menampilkan senyuman tampannya. Entah kenapa gadis itu mampu membuatnya tidak berpaling, meski gadis itu selalu jutek dan kasar. Mungkin ini yang orang bilang cinta bikin orang jadi bodoh.
            “udah ya.. jangan marah-marah mulu.. mending kita makan, udah pesen makan belom?” tanya Leon.
            Dean hanya bergumam. Leon tahu, Dean belum memesan makanan karna dimeja ini belum ada sebungkus makanan pun. Selalu seperti itu, setiap istirahat Leon akan memesankan makanan untuk Dean. Tidak peduli sesibuk apa pemuda itu.
            “yaudah.. tunggu disini, gue pesenin makanan.”
            Leon segera bangkit menuju stand makanan. Ia bahkan rela berdesak-desakan dengan siswa lain agar bisa mendapat antrian. Tentu saja ini dilakukan demi Dean.
            “gue yakin lo bakal nyesel.”
            Suara itu membuat Dean menoleh. Ia mengerutkan keningnya ketika melihat seorang pemuda yang ia tahu bernama Nevan, sahabat Leon.
            “maksud lo apa?!” ketus Dean.
            Nevan mengangkat bahunya, kedua tangannya masih setia didalam daku celana. “gue cuma yakin lo bakal nyesel sama apa yang lo lakuin ke Leon, gak sekarang, tapi nanti.”
            Dean menatap Nevan sinis. “bukan urusan lo!”
            “bukan urusan gue, tapi Leon sahabat gue.”
            Baru saja Dean hendak membuka mulutnya untuk membalas ucapan Nevan, Leon datang membawa nampan berisi makanannya.
            “loh Nevan? Lo sendiri? Yang lain mana?” tanya Leon.
            Nevan tersenyum kearah Leon. “iya gue sendiri, yang lain masih dilapangan. Gue cuma suruh nyampein ke elo, kalo lo udah selesai sama cewek manja lo, langsung ke lapangan.” Kata Nevan menekankan kata manja.
            Leon hanya mengangguk.
            “yaudah gue balik ke lapangan deh.. kasian anak-anak pada nunggu.” Nevan segera pergi dari kantin setelah mendapat anggukan lagi dari Leon.
            Leon kembali duduk didepan Dean. “gak usah dengerin Nevan ya..”
Dean hanya membalasnya dengan gumaman. Tapi membuat Leon mengembangkan senyumannya lalu menyondorkan nampan berisi makanan ke Dean. “nih dimakan dulu.. ntar gue ke lapangan setelah lo abisin makanan lo.”
----
Berulang kali Dean melirik arloji dipergelangan tangannya sambil terus memandang sekitar. Sudah setengah jam ia menunggu Leon diparkiran, tapi pemuda itu belum menunjukan batang hidungnya.
“nih anak kemana sih?! Gak tau apa gue kepanasan?!”
Sepuluh menit kemudian terlihat seorang pemuda berlari kearahnya. Pemuda itu tak peduli dengan keringat yang membanjiri tubuhnya, juga nafasnya yang ngos-ngosan.
“aduh.. maaf ya Dean, lama ya nunggunya?” tanya Leon sambil menumpukan kedua tangannya pada lutut.
Dean memutar bola matanya malas, ia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. “masih nanya?! Lo itu kemana aja sih?! Gue tuh udah nunggu setengah jam! Lo mau bikin gue gosong berdiri disini?! Kalo gak bisa nganterin gue balik tuh ngomong! Punya mulut kan?!”
Hanya saat seperti ini Dean mau berbicara panjang lebar dengan Leon, maskipun semua ucapannya bernada ketus bahkan membentak. Tapi Leon tetap memperpanjang masa sabarnya, ia terlalu menyayangi gadis ini.
Tangan Leon terulur mengusap rambut panjang Dean, tapi gadis itu menepisnya dengan kasar. “gue minta maaf ya.. tadi itu ada jam tambahan, gue gak sempet ngabarin lo.. hape gue mati.” Ucap Leon lembut.
“ya lo kan bisa ijin keluar buat kasih tau gue! Bilang kek mau ke toilet! Punya otak dipake dong!” Dean menekan pelipisnya sarkas.
Leon hanya menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan. “jangan marah-marah terus Dean..” Leon mengusap sayang kening Dean yang dibanjiri keringat. “gue minta maaf.. sekarang gue anterin pulang ya.”
“gue laper!” ketus Dean tak mau menatap Leon.
Kedua sudut bibir Leon tertarik membentuk senyuman, ia menarik lembut tangan Dean menuju motornya. “yaudah.. kita makan dulu ya..” katanya Lembut lalu membantu Dean menaiki motornya.
Motor Leon segera menjalankan motornya keluar gerbang menuju sebuah restoran. Bagi Leon tak masalah sesering apa Dean menguji kesabaran Leon, baginya Dean adalah segalanya. Gadis yang ia sayangi.
Mereka berhenti disebuah restoran kesukaan Dean. Tanpa menunggu Leon, Dean langsung turun dari motor dan berjalan menuju restoran. Tapi ekor matanya mendapati seorang penjual permen kapas disebrang jalan. Meskipun Dean adalah cewek jutek, tapi tak memungkiri bahwa gadis itu menyukai hal-hal manis. Permen kapas misalnya.
Tanpa mengindahkan Leon yang masih memarkir motornya, Dean langsung berlari menuju penjual permen kapas itu. Bahkan gadis itu tidak memperhatikan bahwa ada sebuah mobil yang melaju kencang kearahnya.
“DEAAANNN!!!!”
Ccciiiiiiittttttt!!!!!!!!
Brukkk!!
Dean merasakan tubuhnya melayang karna didorong seseorang. Sejadiannya begitu cepat hingga Dean hanya menyadari bahwa dirinya sudah terduduk dipinggir jalan. Ia mengedarkan pandangannya kesekeliling yang dipenuhi banyak orang, hingga pandangannya terhenti pada sosok pemuda yang kini bersimbah darah.
“LEONN!!!”
Diletakannya kepala Leon dipangkuan Dean, ia mengusap wajah Leon yang sudah dipenuhi darah. Air matanya semakin deras ketika melihat Leon bersusah payah membuka kedua matanya.
“De.. Dean.. uhuk!”
Dean semakin panik ketika Leon batuk darah. “Leon... kenapa sih lo tolongin gue? Lo harusnya biarin aja gue ketabrak.. biarin gue mati.. gue udah jahat sama lo..”
Wajah pucat Leon masih sempat memperlihatkan senyum tampannya. Tangannya yang penuh darah mengusap air mata Dean yang mengalir dipipinya. “ja..jangan.. nang..is Dean.. gu.. gue sa.. sayangg.. sama.. lo..”
Tangan Leon merogoh saku jaketnya, ia mengeluarkan sepucuk bunga dandelion lalu menyondorkannya ke Dean. “satu.. permintaan gu..e Dean.. kita.. tiup bu..bunga ini.. sama-sa..ma..”
“Leon lo ngomong apa sih?”
“please.. Dean.. turutin per..mintaan.. gue.. terakhir kali..”
Dengan nafas sesegukan, Dean mulai meniup bunga dandelion ditangan Leon bersama pemuda itu. Kelopak dandelion itu berterbangan ditiup angin seiring dengan kedua mata Leon yang mulai menutup, pemuda itu menjatuhkan lengannya.
“Leon?! Leon bangun!” Dean mengguncangkan bahu pemuda itu berharap jika ia akan bangun. “Leon wake up! Leon! Don’t close your eyes Leon! Please.. wake up! Wake up Leon!”
Tak ada respon. Kini pemuda itu tidak lagi menuruti ucapan Dean, pemuda itu telah tertidur damai dalam pangkuan Dean untuk pertama dan terakhir kali tanpa ada yang bisa membangunkannya.
---
Gadis itu masih menangisi gundukan tanah didepannya, gundukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir kekasihnya. Pusara dengan batu nisan dengan ukiran nama ‘Delion Aksa Biedda’.
Dean menoleh ketika seseorang menepuk bahunya. Terlihat Nevan tengah berdiri disampingnya, pemuda itu ikut berjongkok lalu memberikan sebuah kotak kado yang terbungkus kertas bergambar bunga dandelion.
“dari Leon.”
Nevan langsung mengusap batu nisan Leon setelah Dean menerima kotak itu. Ia menatap sendu peristirahatan terakhir sahabatnya. “gue udah ngelakuin apa yang lo suruh, tenang disana Leon.” Kata Nevan lalu beranjak pergi.
Seperginya Nevan, Dean membuka kotak itu. Air matanya semakin deras ketika mendapati ebuah boneka teddy bear yang membawa sebuket bunga dandelion, disana juga terdapat sebuah surat.
Untuk Dean,
Maaf ya gue sering bikin lo kesel sama permintaan gue tentang bunga dandelion. Gue gak maksa lo suka sama bunga itu kok. Gue cuma pengen lo tau arti bunga itu buat gue.
Lo tau gak? Gue udah nganggep bunga dandelion itu sebagai gabungan dari kita berdua. DeanDelion. Alay ya? Hehe.. maaf ya..
Gue mau ngucapin happy anniversary yang ke dua tahun sayang. Gue sayang sama lo Deani Ananda.
Love,
Leon
Dean kembali menangis, ia memeluk boneka pemberian Leon. “maafin gue Leon.. gue juga sayang sama lo.. maafin gue.”
Menyesal itu memang datang terakhir. Bukan karna disengaja, melainkan karna takdir yang mempermainkan manusia.
Seperti Dean yang baru menyadari seberapa sayang dan sabarnya seorang Leon. Sekarang ia menyesal, ketika yang ia lihat kemarin adalah senyum Leon yang terakhir kali, sikap sabar Leon yang terakhir kali, dan.. ucapan sayang Leon yang terakhir kali.
**End** 

 sebenernya cerpen ini gue ikutin ke sebuah event lomba cerpen, tapi karna ditolak yaudah gue post aja di blog :D
daripada nganggur gak guna dilaptop, mending buat isi blog kan?
semoga pembaca suka sama cerita-cerita yang gue post ya..

Rabu, 07 Juni 2017

Cerpen


BROKEN

            Kring.. kring.. kringg..
            Suara berisik dari jam weker menggema disebuah kamar. Seorang gadis meraih jam weker itu lalu melemparkannya ke dinding. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak jam weker yang hancur setiap paginya.
            Dengan malas gadis itu duduk diatas ranjangnya, dilihatnya jam tangan di tangan kirinya. “Whatt!!!” pekik gadis itu langsung berlari ke kamar mandi.
            Karin. Ya.. gadis itu bernama Karina Hernanda. Gadis cantik yang kini duduk dibangku kelas 2 SMA ini masuk dalam deretan murid langganan guru BK, ya.. karna Karin adalah salah satu badgirl disekolahnya.
            15 menit kemudian, Karin sudah lengkap dengan seragam berantakannya. Kemeja yang tidak dimasukkan kedalam rok, tanpa dasi, lengan kemejanya juga digulung. Dengan langkah seribu gadis itu berlari menuruni tangga.
            “kamu baru bangun Rin? Mama lupa bangunin kamu.” Kata mama, Karin hanya memutar bola matanya malas. “jelas lupa, yang dipikirin Cuma kerjaan.” Itu bukan suara Karin, melainkan suara papanya.
            “kamu pikir saya kerja buat siapa?! Buat Karin!” teriak mama. “harusnya kamu sadar! Kerja itu tugas saya! Tugas kamu Cuma ngurusin anak! Bisa gak sih jadi istri?!” bentak papa tak kalah emosi.
            Brak!!!
            Karin menggebrak meja makan dengan keras membuat perdebatan orang tuanya berhenti. “pagi-pagi itu sarapan, bukan berantem.” Sindir Karin datar langsung menyampirkan ranselnya dibahu kiri lalu beranjak pergi meninggalkan kedua orang tuanya.
            Dari kejauhan nampak gerbang sekolahnya sudah terkunci. Karin langsung berlari. “pak.. pak.. bukain gerbangnya pak.” Teriak Karin.
            Seorang satpam keluar dari pos nya. “aduh neng Karin lagi.. maaf neng gak bisa.” Kata pak satpam. Karin menyatukan kedua tangannya memohon. “ayolah pak.. sekali aja..” mohon Karin. Tapi pak satpam tetap kekeuh menggeleng.
            Tak hilang akal, Karin berlari ke gerbang belakang. Gadis itu langsung memanjat dan melompat ke dalam. Sudah kebiasaan kalo telat, pasti dia lewat gerbang belakang. “huh.. untung gue pinter..” puji Karin pada dirinya sendiri. Karin berbalik, tiba-tiba...
            Settt..
            Telinga kiri Karin sudah ditarik seseorang. “sialan! Siapa sih yang- eh pak Adam.. hehe..” Karin langsung nyengir melihat pak Adam menjewer telinganya dengan sadis.
            “ngapain manjat pager?!” tanya pak Adam tajam. “telat pak..” Karin menjawab tetap dengan cengiran tak berdosa diwajahnya. “telat kamu bilang?! Bagus.. ayo ikut saya.” Pak Adam menarik telinga Karin ke tengah lapangan.
            Ditengah lapangan sudah ada tiga cowok yang senasib seperjuangan dengan Karin. Rey, Lano, dan Bastian. Mereka sedang hormat bendera, sepertinya Karin juga akan dihukum sama.
            “sekarang kamu berdiri disini sampe jam istirahat, dan-“
            “hormat bendera kan pak?” potong Karin seenak jidat. Ia langsung mengangkat tangannya untuk hormat. Pak Adam mengangguk lalu meninggalkan murid-murid bandel kesayangannya.
            Ketika pak Adam sudah tak terlihat mereka kompak menurunkan tangannya. “lo telat Rin?” tanya Rey. “gak.. gue lagi baik hati aja, mau hormatin nih bendera.” Jawab Karin sekenanya. Wajah gadis itu sedikit pucat sekarang.
            “lo sakit Rin?” tanya Lano. Karin menggeleng. “lo pucet banget loh Rin.. cabut aja yuk..” ajak Bastian. Karin hanya berdecak kesal lalu menatap ketiga sahabatnya. “lo bertiga bisa diem gak sih?! Gue gakpapa.” Ketus Karin.
            Mereka diam sejenak larut dalam pikiran masing-masing. “Rin.. lo yakin nolak lomba dari bu Mina?” tanya Lano. Karin hanya mengangkat bahunya acuh. “gak guna juga gue ikut lomba itu.. menang ato gak, tetep gak ada yang bangga..” ujar Karin.
            Ingatan Karin berputar pada saat ia menang lomba dulu, ketika gadis itu masih kelas 4 SD. Dengan semangat Karin memberitahukan kemenangannya pada sang mama tapi jawabannya malah membuatnya kecewa.
            “mama lagi sibuk Karin.. sana sama papa aja.”
            Karin kecil menutupi rasa kecewanya lalu berlari keruang kerja papanya. Namun jawabannya malah lebih mengecewakan.
            “papa sibuk Karin! Bisa gak sih kamu gak usah gangguin papa?!”
            Pengganggu. Ya.. mulai saat itu Karin berubah. Dari seorang gadis pintar, rajin, ramah, dan ceria. Menjadi gadis tomboy, cuek, males, kasar, dan jutek.
            Karin menghembuskan nafasnya kasar mengingat masa lalunya. Sebuah tepukan dibahu membuatnya menoleh. Ketiga sahabatnya memberi senyum menenangkan dengan tulus. Senyum itu kini menular ke Karin.
            ---
            Ceklek!
            Karin membuka pintu rumahnya. Gadis itu menghembuskan nafasnya kasar. “baru pulang sekolah.. bukannya disambut, disuruh makan.. malah sepi..” gerutu Karin. Karin menaiki satu persatu anak tangga. Samar-samar ia mendengar suara dua orang bertengkar.
            Dengan ragu, Karin membuka sedikit pintu kamar orang tuanya. “kamu liat sekarang?! Anak kamu belum pulang?! Lalu apa yang kamu lakukan?! Berdiam diri dengan laptop sialan mu itu?!” teriak mama.
            Brak!!
            Terlihat papa membanting berkas-berkas ditangannya ke lantai. “kamu pikir aku ngapain?! Main COC?! Aku ini lagi kerja! Aku kerja buat siapa?! Buat kalian! Harusnya kamu ngertiin!” balas papa tak kalah teriak.
            “lagi pula.. yang harusnya ngurus anak itu kan kamu! Kamu yang seorang ibu! Bukannya malah enak-enakkan bisnis sama temen-temen kamu!” bentak papa.
Mama langsung menatapnya tajam. “kamu kira aku bisnis juga buat siapa?! Buat Karin! Buat kita! Aku mau kita punya uang lebih buat masa depan Karin!”
Karin hanya tersenyum miris mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Masa depan? Baik bukan orang tuanya memikirkan masa depan Karin? Ya.. mereka baik sekali. Baik sampai tak tau bagaimana keadaan putri mereka sekarang.
Brak!!!
Karin membanting pintu kamar orang tuanya lalu berlari pergi mengendarai motor sport miliknya. Sementara kedua orang tuanya hanya terkejut Karin mendengar pertengkaran mereka. Meskipun sudah berulang kali terjadi.
---
Kedua mata Karin mengerjab berkali-kali menyesuaikan dengan penerangan diruang itu. Ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan yang khas. “shiitt!!” umpatnya. Karin langsung bangkit dan mencabut jarum infus ditangannya.
Dengan langkah gontai Karin keluar dari kamar rawatnya, ia melirik jam tangan dipergelangan tangan kiri. “jam 2 pagi..” gumamnya lalu melanjutkan langkahnya sambil memikirkan yang terjadi padanya tadi malam.
Karin keluar dari rumahnya, melajukan motornya ke area balap. Lalu tiba-tiba semua gelap..
Karin melangkah pelan ke kamarnya. ketika hendak membuka kenop pintu sebuah suara menghentikan gerakan tangannya.
“dari mana kamu?!” tanya papa tajam.
Karin menghembuskan nafasnya mencoba menghilangkan sakit kepala yang tiba-tiba menyerangnya. “gak dari mana-mana.” Jawab Karin seadanya. Kepalanya serasa mau pecah sekarang, ia langsung menutup pintu kamarnya tanpa peduli teriakan kedua orang tuanya.
Sambil memegangi kepalanya, Karin mencari sesuatu dilaci meja, dia mengeluarkan berbagai macam botol. Beberapa pil ia keluarkan dari botol-botol itu. Kemudian ia meminumnya dengan air mineral.
Karin menghembuskan nafasnya lelah ketika rasa sakit itu mulai menghilang. Ditatapnya obat-obatan ditangannya dengan sendu. “sampe kapan gue harus hidup dengan obat-obatan ini?” gumamnya lalu memasukan kembali obat-obatan itu.
Pagi yang cerah.
Karin membuka kedua matanya ketika sinar matahari menyusup kesela-sela gorden. “jam berapa nih?” gumamnya melihat jam tangan. Jam 10.00. “gue kesekolah aja kali ya..” katanya lalu berjalan memasuki kamar mandi.
Dengan langkah malas, Karin memasuki ruang kelasnya. Sebelumnya ia mendapat wawancara dulu dari guru piket, biasalah gara-gara telat. “permisi bu..” Karin melangkah ke bangkunya tanpa merasa bersalah sama sekali.
“kenapa baru datang Karina?!” tanya bu Ida tajam sambil membenarkan letak kacamatanya. Karin berbalik lalu menatap guru bahasa indonesia itu dengan malas. “saya males bu..” jawabnya santai lalu melanjutkan langkahnya ke bangku.
Baru saja Karin duduk, bu Ida sudah menghampirinya dengan tatapan tajam nan menusuk. “bu.. saya lagi males dihukum.. hukumannya besok aja ya..” kata Karin. Sebenarnya ia sedang menahan rasa sakit dikepalanya saat ini.
Tanpa ba bi bu lagi, bu Ida menarik Karin untuk ke tengah lapangan dan dia juga menyuruh semua murid untuk keluar melihatnya. Tolong garis bawahi! SEMUA MURID!
Kini Karin berdiri ditengah lapangan, lebih tepatnya diatas podium yang biasa digunakan untuk amanat pembina saat upacara. “sekarang hukuman buat kamu.. kamu harus cerita tentang kehidupan kamu.. lengkap tanpa terkecuali dan harus jujur.” Karin menghembuskan nafasnya pelan.
“gue Karin. Karina Hernanda. Mungkin kalian udah kenal gue sebagai badgirl sekolah ini. Cewek yang slalu bikin masalah, cewek yang slalu bikin ulah, cewek yang slalu ngebully kalian, cewek yang ngerusak nama baik sekolah dan keluarga. Kalo itu yang kalian pikirin? Selamat! Kalian salah.”
“gue emang badgirl.. gue emang suka bikin ulah.. lo semua mau tau kenapa? Karna gue pengen diperhatiin.. gue pengen semua orang merhatiin gue.. gue anak tunggal yang kekurangan kasih sayang.. orang tua gue sibuk sama kerjaan mereka masing-masing.. mereka gak peduli sama gue.. bahkan, mereka gak tau kalo gue nyimpen satu rahasia dari mereka.”
Karin menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan. “gue sakit. Gue punya penyakit kanker otak stadium akhir.” Terlihat semua murid terkejut, bahkan semua guru. Tapi tidak dengan ketiga sahabat Karin. Mereka hanya tersenyum menyemangati Karin.
“gue gak mau lo semua kasihan sama gue.. gue gak mau kalian natap gue seolah gue ada diurutan teratas daftar malaikat pencabut nyawa..” Karin terkekeh sejenak. “ya.. gue emang sakit parah.. gue juga tau kalo bentar lagi gue bakal mati.. dan gue harap ketika gue udah gak ada.. kalian tetep inget gue sebagai Karin yang badgirl, bukan Karin yang mati karna penyakit sialan ini..”
“gue mau ngucapin sesuatu.. terutama buat ketiga sahabat gue..” Karin menatap ketiga sahabatnya, terlihat gadis itu sangat pucat. “makasih udah mau jadi sahabat gue.. makasih lo semua tetep ada disamping gue walaupun hidup gue gak akan lama lagi..”
“lo akan tetep hidup Karin!!” teriak Rey dan Bastian bersamaan, sementara Lano masih memegang ponsel untuk memvideo Karin. Ini semua atas permintaan Karin.
Karin terkekeh mendengar teriakan sahabat-sahabatnya. “gue harap juga gitu..” katanya tersenyum. “yang selanjutnya buat guru-guru.. buat pak Adam, bu Ida, bu Mina, pak Arka, dan semua guru-guru yang pernah saya bikin jengkel.. saya mau minta maaf.. maaf kalo selama ini saya bikin kalian naik darah..” Semua guru kini sudah menangis.
“selanjutnya gue mau ngomong sesuatu buat kedua orang tua gue.. mungkin sekarang mereka memang gak ada disini, tapi gue udah minta sahabat gue buat ngerekam gue dan tunjukin ke orang tua gue ketika gue udah gak ada nanti..”
“Ma.. Pa.. maafin Karin ya.. Karin gak bisa jadi anak yang bisa kalian banggain.. Karin sadar, Karin adalah penyebab kalian berantem tiap hari.. kalo aja Karin gak ada.. mungkin kalian gak akan nyalahin satu sama lain..”
“mama sama papa tau gak? Karin sedih pa.. ma.. Karin sedih.. tiap hari Karin harus ngeliat kalian berantem.. tiap hari Karin harus mati-matian nahan sakit sendirian.. kalian dimana saat Karin butuh kalian? Kalian kemana saat Karin sendirian?”
Karin menyeka air matanya. “tapi Karin bangga kok ma.. pa.. Karin bangga punya orang tua kayak kalian.. seenggaknya, dengan kalian gak peduli sama Karin.. kalian gak akan ngerasa kehilangan Karin.. makasih udah lahirin Karin.. makasih udah biarin Karin ngeliat dunia.. makasih udah biarin Karin ngerasain hidup.. Karin sayang Mama.. Karin sayang Papa.. Karin sayang kalian..”
Brukk!!
“KARINN!!”
Semua langsung berlari kearah Karin yang tiba-tiba ambruk. Mereka segera membawa Karin ke rumah sakit.
---
            Hujan turun mengiringi pemakaman seorang gadis SMA. Tangisan dari orang-orang pun tak dapat disembunyikan. Bahkan mama Karin sudah menangis histeris didepan makam putri tunggalnya. Disampingnya, sang suami mengusap lengan sang istri dengan sayang.
            “kenapa kamu pergi sayang? Kenapa kamu ninggalin mama? Mama sayang sama kamu sayang.. ayo kita lakuin apa yang kamu mau.. mama akan turutin sayang.. hiks..” tangis mama Karin sesegukan.
            Lano mendekat ke kedua orang tua Karin, ia menyerahkan ponselnya ke mereka. “Karin nitip ini buat kalian..” kata Lano. Mama Karin segera melihatnya, ternyata video. Video dimana Karin mengungkapkan semua tentang dirinya. Dimana Karin mengidap penyakit kronis. Dimana Karin merasa sendirian. Dimana Karin membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya.
            Tangis mama Karin semakin kencang. Ia tak menyangka terlalu mengabaikan putri semata wayangnya. Ia mengusap batu nisan Karin. “maafin mama sayang.. mama salah.. mama gak tau kamu nanggung ini semua sendiri sayang.. mama sayang sama kamu.. maafin ma-“
            Ucapan mama Karin terhenti ketika tiba-tiba tubuhnya ambruk. Dengan sigap papa Karin membawa istrinya ke dalam mobil meninggalkan makam putri mereka. Sementara ketiga sahabatnya masih diam disana menatap nisan sahabatnya.
            Rey berjongkok lalu mengusap nisan Karin. “tenang disana ya Rin.. gue tau lo pasti bahagia disana..” kata Rey. Kini giliran Bastian. “lo seneng kan Rin? Lo pasti seneng disana karna lo gak lagi ngerasain penyakit sialan itu. Gue juga seneng kalo lo seneng.” Mereka berdua bangkit lalu meninggalkan Lano disana.
            Lano berlutut dihadapan peristirahatan terakhir Karin. “gue terlambat Rin.. gue terlambat ngungkapin perasaan gue ke elo.. gue terlambat karna lo udah pergi duluan.. lo pergi ninggalin gue Rin? Lo jahat sama gue.. kok lo pergi gak ngajak gue sih? Kan gue pengen sama lo terus..”
            “lo tunggu gue disana ya.. tungguin gue nemuin lo disana.. gue janji kita bakal sama-sama lagi disana.. tapi gue harap lo sabar nunggu gue.. gue sayang sama lo Karin.. bahagia disana ya cantik..” kata Lano lalu beranjak pergi.

-kalian salah kalo mikir ‘broken heart’ itu paling menyakitkan. Berarti kalian belum tau bagaimana rasanya menjadi anak ‘broken home’. Karna hanya orang yang benar-benar tangguh yang sanggup menjalaninya.-